catatan kelima

08.58.00

Sebenarnya aku ingin merubah tampilan blog biar lebih rapih dan lebih enak untuk dinikmati tapi aku belum menemukan orang yang tepat untuk mendesignnya. Kalaupun ada, sepertinya biayanya tidak memungkinkan sedangkan belajar sendiri tidak punya waktu.
Aku lagi baca novel Ayat – Ayat Cinta 2. Disitu diceritakan tentang perjalan seorang Fahri yang sedang berada di The University Of Edinburgh. Kuliah untuk mengambil program postdoctoral bidang Filologi. Aku tak mengerti apa itu Filologi namun saat aku cek di Wikipedia, ia menyebutkan bahwa Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Aku lebih ingin membahas tentang pribadi Fahri itu sendiri. Ia masih orang yang sama seperti di jilid sebelumnya; romantis, humble dan tentu saja sangat memegang teguh ajaran agamanya. Juga dia cukup menguasai ilmu moqoronatul adyan alias perbandingan agama. Terlebih tentang amalek. Sebutan untuk sebuah bangsa yang sangat ingin menghancurkan bani Israil setelah mereka eksodus ke Mesir. [1] Jujur, aku baru tahu tentang itu.
Sampai saat ini aku baru baca sampai halaman 180. Masih banyak halaman yang belum kubaca. Masih sepertujuh lagi. Jumlah halamannya sebanyak 690. Sangat tebal tapi karena memang aku penikmat karya – karya Habiburrahman El Shirazy, bukanlah jadi soal. Toh lagipula masih banyak waktu untuk membacanya.
Kang Abik, begitu ia sering disapa, sangat sering mengutip nasihat – nasihat para ulama dalam novelnya ini meski itu tidak mengurangi sedikitpun esensi dari isi novelnya tersebut. Bahkan malah jadi pembeda dari novel – novel lainnya lebih banyak mengutip pendapat atau kata mutiara dari ilmuwan Barat. Seperti saat Fahri membaca karya Syaikh Abdul Qadir Al – Jilani dalam kitab Sirrul Asrar:
“Masuklah menjadi bagian dari orang yang berjalan kembali menuju Allah. Segera! Jangan menunggu hingga jalan itu tidak dapat dilalui, atau tidak ada lagi yang bisa memberi petunjuk ke jalan itu.tujuan itu datang ke bumi yang sempit dan pasti musnah ini bukan sekedar untuk makan, minum, bersetubuh atau berfoya – foya semata. Perilaku seperti itu bukan yang dikehendaki oleh Allah dan diajarkan oleh Nabi – Nya yang paling mulia, Muhammad SAW! [2]
Beliau juga seperti mengajarkan kepada pembacanya bagaimana bersikap kepada manusia lainnya bahkan kepada orang yang tidak seagama dengannya. Sebagaimana yang ia tampakkan pada Nenek Catarina yang beragama Yahudi. Ia seperti berkata, “meskipun ia Yahudi atau tidak seagama denganmu, bukan berarti kamu memperlakukannya dengan tidak baik”.
Beliau, yang menamatkan studi S2 – nya di The institute for Islamic Studies di Kairo, juga mempunyai beragam karya fiksi yang bernafaskan sama, yaitu islam. Sebutlah Ketika Cinta Bertasbih, Bumi Cinta, Api Tauhid dan Cinta Suci Zahrana. Dan beragam novel lainnya. Aku pernah membaca novel Api Tauhid yang bercerita tentang sejarah perjuangan Syaikh Badi’uzzaman Said Nursi dalam melawan proses sekularisasi Mustafa Kemal Attaturk. Sebuah gerakan yang memisahkan antara negara dengan agama. Terutama islam. Konon katanya, mengumandangkan suara adzanpun dilarang disana. Kalaupun dikumandangkan, harus memakai bahasa Turki. Tidak boleh memakai bahasa arab seperti yang biasa kita dengar. Sungguh terlalu!

________________________________________
[1] halaman 180 paragraf kedua
[2] halaman 146 paragraf keempat

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

tinggalkan jejak dibawah ini
PS:
sekiranya ingin menambah tali silaturrahim, silahkan follow twitter saya di @RealRiMuTho