dalam mengambil sebuah keputusan, ada harga yang harus dibayar

05.31.00

“Dalam mengambil sebuah keputusan, ada harga yang harus dibayar”
Saat ini aku mempunyai beberapa kesibukan. Menjadi ketua Badaris cabang Fatmawati, menjadi anggota LPM, menulis novel, menulis di blog seminggu sekali satu halaman dan menjadi amil di yayasan MAI. Dari beberapa hal itu, aku harus punya kompromi – kompromi agar aku bisa menjalankan semuanya dengan baik dan agar aku bisa menjaga kepercayaan teman – teman semuanya. Melepas jabatan sebagai ketua Badaris cabang Fatmawati tidaklah mungkin. Bukan karena aku ingin berada di puncak kekuasaan dalam sebuah organisasi. Toh, organisasi itu tidaklah prestisius. Bahkan tekor karena aku harus berkorban. Tapi ini masalah menjaga komitmen yang telah diucapkan oleh lisan. Kalaupun aku harus melepas jabatan ini, harusnya aku mengatakannya saat aku bicara kepada kedua sahabatku dikala aku berada diyayasan MAI saat itu.
Hm...... okelah. Demi menjaga komitmen yang terlanjur kuucapkan oleh lisan, aku harus melepas sesuatu;menulis novel yang sejatinya sudah mulai kutulis sekarang – sekarang ini agar target novel selesai dibuat ditahun 2015 terealisasikan – untuk kedua kalinya aku menggeser target menulis novel dan semoga ini terakhir kalinya. Sedangkan skala prioritasku untuk saat ini adalah menjalankan amanah sebagai ketua cabang Badaris Fatmawati dengan baik dan memposting blog seminggu sekali sekurang – kurangnya satu halaman. Untuk mengikuti kegiatan di LPM, aku rasa bisa diatur. Toh, aku menjadi anggota disana hanya sebatas ikut – ikutan saja. Sedangkan menjadi amil, sekenanya saja. Sebisanya.
Sedangkan untuk tahun selanjutnya atau selepas kepengurusanku di Badaris sebagai ketua cabang, aku tidak akan naik ke pusat. Aku akan benar – benar fokus mengejar cita – citaku yang sebenarnya kuimpikan sejak aku duduk dibangku kelas tiga saat aku berada dipesantren dahulu. Cita – cita yang menjadikan aku tidak naik kelas selama dua tahun. Tidak baik sih...... tapi itulah penyebab aku tidak naik kelas selama itu. Padahal sewaktu aku kelas satu, aku rangking tiga dalam satu kelas. Selama dua semester. Prestasi yang cukup membanggakan bagiku. Setelah aku membaca buku yang tak sengaja aku temukan dan menjadikan aku ingin menjadi penulis, pandanganku berubah. Aku sudah tidak memperdulikan nilai lagi. Puncaknya, saat aku duduk dibangku kelas lima dan enam – setara dengan dua dan tiga SMA – aku tidak naik kelas dua kali. Bapakku sempat marah tapi aku tidak bergeming. Aku tetap pada pendirianku. Sekarangpun masih. Tapi aku mencoba mengimbangi untuk belajar secara lebih serius lagi.
Kalaupun boleh jujur, aku tidak menyukai mata kuliah yang ada disana. Sebab, minatku adalah sesuatu yang berhubungan dengan sosial; sejarah, sastra, agama dan lain sebagainya. Tapi aku mencoba untuk bertahan demi menyenangkan orang tua. Tidak lama kok. Hanya tiga tahun. Dan aku mencoba untuk menghibur diri dengan mengatakan, “pasti ada sesuatu yang akan berimbas bai untukku kalau bertahan dikampus ini meski sesungguhnya aku tidak suka.”
Dan faktanya ada. Aku bisa berkenalan dan bergaul dengan teman – teman yang sangat fanatik dengan agama islam dan memperjuangkan agama islam dengan sekuat tenaga. Terutama lewat jalur politik. Meski awalnya aku kaget sebab, apa yang kupahami dari pesantren berbanding terbalik dengan apa yang kulihat diorganisasi yang aku masuki. Tapi aku mencoba bersikap bijak dengan mengatakan, “selama perbedaan itu masih berhubungan furu’, masih bisa ditolerir”.
Alhamdulillah.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

tinggalkan jejak dibawah ini
PS:
sekiranya ingin menambah tali silaturrahim, silahkan follow twitter saya di @RealRiMuTho